ASAL-USUL MUSIK KERONCONG
Sore yang cerah di Ruteng. Aku menemani Ucique Jehaun siaran sore. Kami sepakat untuk mengangkat tema Kepahlawanan, karena kebetulan hari ini adalah peringatan Peristiwa Sepuluh Nopember di Surabaya yang dikenal sebagai Hari Pahlawan.Untuk menyesuaikan dengan tema, Ucique mulai menempatkan lagu-lagu yang bernuansa kepahlawanan, kebetulan lagu-lagu yang pas dengan suasana dan rasa masa-masa itu adalah lagu-lagu keroncong. Maka, tak ayal lagi, mengudaralah lagu Jembatan Merah dan Sepasang Mata Bola.
Ternyata keasyikan irama keroncong menyergap kami, jadilah sepanjang acara itu sebagian besar lagu yang diputar adalah keroncong. Mus Mulyadi dengan Dewi Murninya (karena kami ingat teman kami Dewi Murni di Brazil), lalu Juwita Malam karena teman lama di Jakarta dan teman baru di Blitar berkomentar tentang lagu itu, yang katanya kegemaran mereka berdua. Demikian seterusnya sampai akhir acara.
Perbincangan saat on air memang cukup seru, tapi tak kalah pula perbincangan saat jeda alias off air. Ucique berkata syair lagu-lagu jaman dulu sangat indah dan romantis sehingga tak lekang oleh waktu. Aku pun merasa demikian. Syair lagu-lagu itu sungguh puitis dalam kesederhanaan pilihan katanya. Menyentuh hati di segala jaman.
Bicara tentang musik keroncong selalu mengingatkanku pada masa SD dulu. Bapakku adalah anggota group musik keroncong milik para guru. Seminggu sekali mereka latihan di kantor dinas P dan K. Acara ini menjadi istimewa bagiku karena dengan setengah memaksa bapak melibatkanku.
Setiap Kamis sore dengan berboncengan sepeda dia selalu membawaku latihan bersama para guru. Akulah satu-satunya murid di sana. Berhubung masih kanak-kanak, bapak memilihkan lagu yang sederhana cara menyanyikannya. “Mulai dengan irama Langgam saja.” Katanya. “Cara menyanyikannya gampang.” Dan “lagu kebangsaanku” adalah Pahlawan Merdeka. Setiap kali latihan lagu itulah yang harus aku nyanyikan. Entah berapa tahun aku menyanyikannya, tak kuingat dengan pasti. Setelah itu barulah aku menyanyikan Sepasang Mata Bola, Jembatan Merah, Bengawan Solo, Telaga Sarangan, Sangkuriang, sampai menginjak lagu yang lebih canggih yaitu Keroncong Bandar Jakarta, Dewi Murni, Kemayoran, dan lain-lainnya.
Meskipun awalnya terpaksa, lama-lama menjadi kebiasaan. Aku mulai suka lagu-lagu itu dan sering berlatih sendiri di rumah. Ini, sih sebetulnya lebih karena narsis, merasa punya suara sedikit lebih bagus dari adik-adikku dan diberi keistimewaan boleh bengak-bengok atas nama latihan. Tak ada juga yang protes karena adik-adikku punya kegemaran masing-masing, mungkin juga karena mereka tak mau jadi “korban” bapak berikutnya untuk dilatih menyanyi.
Tahun berganti, jenjang sekolah yang lebih tinggi membuatku melupakan latihan keroncong. Setelah kuliah dan kemudian pindah ke kota lain, acara menyanyi benar-benar berhenti. Semua waktu aku curahkan pada pekerjaan dan kuliah lanjutan yang kuambil. Sekali dua aku pernah juga dipaksa menyanyi, tapi dalam kurun 7 tahun mungkin tak lebih dari sebelah jari tangan. Teman-teman kantorku berkata, “Suaramu lumayan juga, kenapa tak sering-sering menyanyi?” Biasanya aku akan menjawab dengan berbagai alasan, yang masuk akal maupun tidak.
Ada masanya aku tak pernah menghabiskan satu lagu dengan tuntas, hanya mendendangkan refrain atau bahkan tak menyanyikan sebait pun. Lagu-lagu lewat tanpa kukenali jenis dan iramanya. Telingaku mendengarkan, namun rasaku tidak. Bapak beberapa kali bertanya,”Kamu masih suka menyanyi?” Dan kujawab tidak. “Kenapa tidak?” Kejarnya. Hmm….tak ada waktu, sibuk, tak ada lagu yang bagus, dan banyak macam alasan yang lain. “Mbok ikut koor. Kamu dulu, kan suka ikut koor.” Wah…, gimana, ya. Aku tak tertarik lagi menyanyi.
Lalu, waktu bergeser lagi. Seperti syair lagu Juwita Malam, beberapa bulan belakangan ini aku terpikat dan masuk perangkap….sehingga mulai mendendangkan lagu-lagu lagi. Kebetulan suamiku menginstall lagu-lagu bagus yang cocok dengan suasana hati dan telingaku. Jadilah acara bengak-bengok kembali muncul. Kali ini telinga Si Max yang menjadi kurban. Tapi dia tak merasa keberatan, kadang malah dia ikutan juga, dengan lagu-lagu kegemarannya yang diambil dari buku-buku latihan koor.
Sore kemarin membawaku pada kenangan masa kecil. Pada keindahan musik dan lagu yang pernah mengisi masa kecilku. Tentang bapak yang suka sedikit memaksa untuk belajar sesuatu. Teringat banyak protes yang aku layangkan pada beliau karena mendidikku melakukan banyak hal. Tapi sekaligus bersyukur karena dia memaksaku belajar banyak hal. Tak bisa kubayangkan bagaimana diriku dan adik-adikku bila orangtua kami tak bersikeras mendidik dengan cara mereka.
Saat menuliskan note ini aku menyenandungkan lagu Sepasang Mata Bola. Mendadak sebuah kerinduan membuncah, aku kangen bapakku, aku kangen omelan dan petuahnya yang menjadikanku kembali seperti anak kecil, dunia yang mendadak membuatku merasa beruntung dan bahagia karena pernah kujalani.
0 komentar:
Posting Komentar